20 Jun 2010

KRITIK TERHADAP TEORI SOSIAL

PROLOG
Peter Beilharz mengatakan mengapa kita peduli pada Teori Sosial?1 Pertanyaan ini hanya sekedar ingin menggelitik pikiran kita, bahwa sesungguhnya realitas sosial yang ada hari ini adalah ampas-ampas dari pengujian teori-teori sosial, yang tidak pernah berhasil mengoptimalkan kondisi realitas sosial yang dicita-citakan. Lanjut Beilharz, bahwa kebudayaan kita adalah suatu kebudayaan instrumental, dikuasai oleh rejim utilitarian yang lebih suka mencapai hasil lewat jalan pintas. Tak ada waktu untuk berpikir.2 Pengetahuan kita tentang realitas sosial hanya sekedar biasa-biasa saja, biasa dalam term yang terlalu picik, dalam hal ini kita mengikuti dan melakoni ritme kehidupan sosial tanpa pernah mau merenung apa makna dibalik realitas tersebut. Sebagai Contoh, ketika realitas sosial begitu sulit, tingkat pendapatan per-kapita masyarakat semakin rendah, BBM naik-turun, krisis finansial global, bahkan perkelahian mahasiswa dengan polisi di depan kampus, sampai perkelahian liar yang penuh birahi antara seorang mahasiswa dan mahasiwi di pojok-pojok kampus, kesemuanya ini hanya kita anggap hal yang lumrah, dan bahkan ada diantara kita hanya sekeder menimpali, “ah, itukan urusan orang masing-masing”. Kesemuanya ini menurut Mansour Fakih adalah hasil dari sikap Vassifitas masyarakat terhadap realitas sosial dilingkungannya.3 Apa yang kita alami dalam kehidupan sosial kita, dengan berbagai contoh diatas sesungguhnya menampakkan kepada kita semua, bahwa kita tidak pernah ingin peduli dengan apa yang terjadi. Kepedulian terhadap sosial yang mulai hilang mengindikasikan adanya sebuah problem yang amat besar dalam masyrakat kita. Oleh karena itu disinilah pentingnya kembali mengkaji aspek-aspek yang membangun realitas sosial tersebut dalam hal ini, cara pandang kita terhadap sebuah konsepsi yang selanjutnya akan kita istilahkan dengan sebutan “TEORI”, maksudnya adalah sebuah bangunan teori yang mendasari seluruh realitas sosial yang terbangun hari ini.
Terkadang kata “teori” memang menakutkan. Beberapa teori sosial seringkali sulit dipahami, dangkal, atau bahkan tak memiliki tujuan yang jelas. Terkadang pembaca teori-teori sosial tak mengerti apa sebenarnya yang mereka baca. Namun bagaimanapun teori sangat berguna dalam memahami sistem yang hendak didekati. Teori sosial sepantasnya berguna untuk mendekati sistem sosial. Konstruksi teori adalah sebuah tahapan dari seluruh pekerjaan dan metodologi ilmiah. Teori lahir dari serangkaian perjuangan yang menggunakan akal sehat, hipotesis, dan eksperimen yang dapat digunakan di luar laboratorium dan sekadar impian para ilmuwan. Teori sosial adalah teori yang tak menggunakan “kelinci” sebagai obyek percobaan, tak pula memiliki larutan kimia atau proposisi logika yang hendak dipermainkan sedemikian oleh para ilmuwan sebagaimana para fisikawan, kimiawan, atau matematikawan. Teori sosial berada di area gejala yang terlihat di siang hari selama riset dan malam hari menjadi bahan perenungan para ilmuwan sosial. Olehnya itu sangat penting kiranya untuk kembali melakukan telaah secara kritis terhadap perkembangan teori sosial yang ada, dalam makalah ini akan dijelaskan lebih jauh atau paling tidak penulis akan mengelaborasi lewat metodologi “studi kritis” seputar teori-teori sosial yang ada. Metodologi Studi kritis dipakai oleh karena diharapkan nantinya akan kita temukan kelamahan dan keunggulan setiap teori sosial yang berkembang saat ini. Antara lain yang akan menjadi pembahasan dalam makalah ini adalah, teori fungsionalisme struktur Talcot Parsons, teori konflik Ralf Dahrendof dan Marxsisme, serta teori-teori sosial kontemporer mutakhir.
  1. URAIAN
Untuk memudahkan kita melakukan elaborasi kritis terhadap teori sosial yang ada maka dibutuahkan sebuah prangkat teoritis dalam mengkaji selanjutnya. Prangkat teoritis atau lebih populer dikenal sebagai alas pikir(frame Reference) akan memetakan objek kajian yang ingin kita kaji. Dalam kajian teori sosial, George Ritzer memperkenalkan kita dengan sebuah pisau analisa dalam membedah sebuah teori. Pisau analisa itu biasa disebut dengan sosiologi berpardigma ganda (Sociology: A Multiple Paradigm Science),4 secara sederhana Ritzer mensinyalir bahwa setiap teori sosial yang ada membupunyai paradigma5 yang membangunnya. Dalam buku itu, Ritzer memetakan tiga paradigma besar dalam disiplin sosiologi. Tapi, dari ketiga paradigma itu Ritzer menjelaskan, seperti dikutip Mansour Fakih, bahwa kemenangan satu paradigma atas paradigma lain lebih disebabkan karena para pendukung dari paradigma yang menang itu lebih mengandalkan kekuatan dan penguasaan dari atas pengikut paradigma yang dikalahkan, bukan karena persoalan benar atau salah dalam struktur dan makna teori itu.6 Sehingga, pada ketiga paradigma itu terdapat kekurangan dan kelemahannya masing-masing.
Paradigma pertama adalah Fakta Sosial.7 Menurut paradigma ini, “Fakta sosial” menjadi pusat perhatian penyelidikan dalam sosiologi. Durkheim menyatakan bahwa fakta sosial itu dianggap sebagai barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Fakta sosial terdiri atas dua tipe, yaitu struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social instistution).8 Paradigma kedua adalah Definisi Sosial,9 dan Paradigma yang terakhir adalah Perilaku Sosial.10 Penjelasan tentang paradigma di atas membawa kita kepada pengetahuan bahwa teori sosial berdiri dan tegak dengan paradigma yang dianutnya. Selanjutnya kita akan mencoba melakukan analisa kritis terhadap teori sosial yang ada dalam wilayah paradigamanya masing-masing.
  1. Kritik terhadap Fungsionalisme Struktur
Fungsionalisme Talcott Parsons, sesungguhnya amat laris di dunia ketiga, termasuk di Indonesia. Parsons memulai teorinya dari apa yang disebut dengan masalah “Hobbesian” tentang tatanan (Problem of order). Pandangan hobbesian menyatakan bahwa kondisi asali kita adalah konflik yang tak berkesudahan antar individu. Fakta bahwa saat ini ada tatanan masyarakat itu hanya karena ada lompatan. Proses lompatan inilah yang mengakibatkan dua masalah, dan masalah itu adalah masalah hobbesian. Pertama, bagaimana tatanan masyarakat dimungkinkan dibagung? Kedua, bagaimana poses perdamaian konflik berbagai kempentingan itu berlangsung? Jhon Locke melalui gagasan “kontrak sosial” menjawab masalah yang pertama, sementara Parsons menganggap masalah “hobbesian” sebagai masalah “perdamaian dan berbagai kepentingan”. Kunci perdamaian ini menurut Parsons adalah dengan adanya nilai (value) yang mengikat kebutuhan dan tindakan individu dengan tata masyarakat.11 Dalam tindakan apaun kita anggota masyarakat merupakan pelaksana peran-perang sosial tertentu, entah peran itu disebut buruh, dosen, manager, maupun mahasiswa. Dalam menciptakan peran tersebut masyarakat harus mempunyai prasyarat fungsional, ada 4 prasayarat fungsional yaitu tujuan(goal) yang diperankan oleh lembaga politik, adaptasi(adaptasion) yang diperankan oleh lembaga ekonomi, integrasi(integration) yang diperankan oleh lembaga hukum dan yang terakhir prasyarat perekat (latency) yang diperankan oleh institusi keluarga dan agama. Ketundukan kita terhadap peran sosial dijaga lewat sangsi positif (hadiah) dan negatif (hukuman). Peran dan sangsi sosial terlembagakan dalam sistem nilai dan norma.12
Apa pokok fungsionalisme yang tidak bisa diterima? Sekurangnya menurut Anthony Giddens ada tiga hal. Pertama, fungsionalisme memberangus fakta bahwa kita anggota masyarakat bukan orang-orang dungu. Kita tahu apa yang terjadi disekitar kita, dan bukan robot yang bertindak berdasar “naskah” (peran) yang sudah ditentukan. Kedua, fungsionalisme merupakan cara berpikir yang mengklaim bahwa sistem sosial punya kebutuhan yang harus dipenuhi. Bagi Giddens sistem sosial tidak punya kebutuhan apapun, yang punya kebutuhan adalah kita para pelaku. Ketiga, fungsionalisme membuang dimensi waktu (time) dan ruang (space) dalam menjelaskan gejala sosial. Akibatnya terjadi pertentangan antara “statis” dan “dinamis” atau “stabilitas” dan “perubahan”, yang merupakan bentuk dualisme lain.13 Salah satu kelemahan yang paling mencolok dari fungsionalime ini adalah tentang dimensi waktu dan ruang tersebut, yang menyebabkan teori fungsionalisme struktur lebih mengedepankan pada kondisi statis untuk mempertahankan kondisi sosial agar terus stabil, dengan demikian perubahan dalam masyarakat cenderung lambat dan bahkan tak ada transformasi sekalipun, yang ada adalah mempertahankan kestabilan masyarakat lewat fungsi-fungsi yang diperankan. Hasilanya sangat “konservatif” dan mempertahankan “status quo”.
  1. Kritik Terhadap Teori Konflik
Seorang direktur jatuh cinta pada seorang karyawatinya yang juga sedang memadu cinta dengan karyawan lain. Karyawan ini ternyata memang sudah dimak-comblangi oleh teman-temannya yang lain. Mereka tak tahu sebelumnya bahwa sang direktur menyimpan hati atas karyawati tersebut, karena kebetulan hanya karyawan dan karyawati tersebut yang belum menikah di sana. Apa yang terjadi? Konflik dalam perusahaan. Konflik yang akan berakhir dengan perubahan tatanan sosial dalam perusahaan tersebut. Sang direktur akan menjadi tak lagi fokus pada pekerjaannya, ia berusaha mencari waktu untuk memberi tugas pada karyawatinya. Pun hal ini juga dilakukan oleh karyawan yang sedang mabuk kepayang. Karyawati tersebut menjadi bingung. Struktur sosial perusahaan bisa berubah dengan sangat cepat. Jika anda seorang konsultan tenaga kerja dan dimintai nasehat untuk mengatasi masalah ini, apa yang akan anda lakukan? Dinamika sebuah sistem sosial terjadi atas peta konflik yang terjadi dalam sistem tersebut. Secara sederhana, cerita diatas menggambarkan kepada kita tentang dasar dan cara pandang teori konflik yang akhirnya berbicara tentang banyak hal soal struktur sosial dan perubahannya. Selain kemunculan teoretisi neo-marxis, pergulatan antar kelas ekonomi menjadi inspirasi pula bagi lahirnya teori konflik. Sosiolog Jerman, Ralf Dahrendorf, menerangkan konflik kelas dalam masyarakat industrial pada tahun 1959.14
Teori sosial Dahrendorf berfokus pada kelompok kepentingan konflik yang berkenaan dengan kepemimpinan, ideologi, dan komunikasi di samping tentu saja berusaha melakukan berbagai usaha untuk menstrukturkan konflik itu sendiri, mulai dari proses terjadinya hingga intensitasnya dan kaitannya dengan kekerasan. Jadi bedanya dengan fungsionalisme jelas, bahwa ia tidak memandang masyarakat sebagai sebuah hal yang tetap/statis, namun senantiasa berubah oleh terjadinya konflik dalam masyarakat. Dalam menelaah konflik antara kelas bawah dan kelas atas misalnya, Dahrendorf menunjukkan bahwa kepentingan kelas bawah menantang legitimasi struktur otoritas yang ada. Kepentingan antara dua kelas yang berlawanan ditentukan oleh sifat struktur otoritas dan bukan oleh orientasi individu pribadi yang terlibat di dalamnya. Individu tidak harus sadar akan kelasnya untuk kemudian menantang kelas sosial lainnya.15 Teori konflik telah dikritik dengan berbagai alasan. Misalnya teori ini diserang karena mengabaikan “ketertiban” dan “stabilitas”, sedangkan fungsionlisme struktural diserang karena mengabaikan “konflik” dan “perubahan”. Teori konflik juga dikritik karena berideologi “radikal”, sedangkan fungsionalisme dikritik karena ideologi konservatifnya. Bila dibandingkan dengan funsionalisme struktural, teori konflik tergolong perkembanganya. Teori ini hampir tak secanggih fungsionalisme, mungkin karena merupakan teori turunan.16
  1. Kritik Terhadap Teori Marxsisme
Telah secara umum diterima bahwa Marxisme mengambil bentuknya dari tiga akar pokok. Salah satu dari akar itu ialah analisis Karl Marx tentang politik Prancis, khususnya revolusi borjuis di Prancis tahun 1790an, dan perjuangan-perjuangan kelas berikutnya selama awal abad ke-19. Akar lain dari Marxisme adalah apa yang disebut ekonomi Inggris, yaitu analisis Marx tentang sistem kapitalis seperti yang berkembang di Inggris. Akar ketiga dari Marxisme, yang menurut sejarahnya merupakan titik permulaan Marxisme, adalah 'filsafat Jerman', Untuk memulainya, kita katakan bahwa basis Marxisme adalah materialisme. Maksudnya, Marxisme dimulai dengan ide bahwa materi adalah esensi dari semua realitas, dan bahwa materi membentuk akal, dan bukan sebaliknya.17 Oleh karena itu dengan prinsip matrealisme tersebut, dari sejumlah tempat dalam karyanya Marx berbicara seolah-olah seperti seorang “determinis ekonomi”; yakni, ia mengangap sistem ekonomilah yang terpenting dan menegaskan sistem ekonomi menentukan semua sektor masyarakat lainnya. Meski Marx melihat sektor ekonomi sangat menentukan setidaknya dalam masyarakat “kapitalis”, namun selaku orang yang berfilsafat dialektis ia tak akan berpendirian ditermistis karena dialektika ditandai oleh pemikiran, mengenai adanya umpan balik dari interaksi timbal balik secara terus menerus antara berbagai sektor masyarakat. Sektor politik, agama, dan sebagainya tak dapat dikurangi menjadi “epipenomena” yang ditentukan oleh ekonemi, alsannya politik, agama dan sebaginya dipengaruhi oleh sektor ekonomi, meskipun Marx berpikir dialektis namun ia masih saja diinterpretasikan sebagai seorang “determis ekonomi”.18
Selanjutnya kritik terhadap Marxsisme lebih lanjut dapat dilihat dari persfektif Neo Marxsisme, persfektif ini mencoba mengkaji dan menafsir ulang konsep marxsisme yang menurut mereka sudah “ketinggalan jaman”. Puncak dari Neo Marxsisme ini adalah lahirnya teori kritis (Critical Theory) yang dimotori oleh Jurgen Habermas19 yang tergabung dalam sebuah Mashab, yang terkenal dengan Mazhab Frankfurt.
  1. KHATIMAH
Dari ketiga teori yang diurai di atas sesungguhnya telah banyak dikritik oleh teorisasi sosial kontemporer saat ini, termasuk didalamnya dari teori kritis mazhab Fraknkfurt Jurgen Habermas, yang paling memperihatinkan adalah kritikan dari teoritikus “posmodernisme”,20 yang dalam grand teori sosial masa kini, biasa diidentikkan dengan kaum “postrukturalis”, kaum ini tidak hanya menghabisi dan menguliti ketiga teori diatas, namun lebih jauh mereka menganggap bahwa landasan pengetahuan yang membangun teori sosial telah mati dalam hal ini, kaum Posmo mengklaim “Sosiologi” telah bubar alias mampus. Mereka mengangap teori sosial diselubungi oleh “kepentinggan ideologis” yang amat mengerikan, yang implikasinya dapat secara nyata dilihat dalam realitas masyrakat modern kontemporer. Terjadinya kekacauan dalam masyarakat modern menurutnya adalah tanda kegagalan teori sosial.
Makalah disampaikan pada “Kajian Sosial” HMJ Pendidikan Sosiologi Unismuh Makassar, tanggal 21 Desember 2008.
ÖÖ Aktivis Reso Institute Makassar (LSM Transformasi Sosial & Aksi), dan Mahasiswa Semester Akhir Program Pasca Sarjana UIN Alauddin Makassar.
1 Lhat Peter Beilharz, Teori-Teori Sosial; Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka, (Jakarta: Pustaka Pelajar, Cet. II; 2003), hal. vii
2 Ibid.,
3 Lihat Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, (Yogyakarta: Insist Press, Edisi Revisi 2002), hal. 20
4 George Ritzer, Sosiologi, Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, terj. Alimandan, (Jakarta: Jakarta, 1985), hal. 15
5 Secara sederhana paradigma kita artikan sebagai kacamata atau sudut pandang dalam melihat obyek sesuatu yang diamati. Istilah “paradigma” (paradigm) pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dalam karyanya berjudul The Structure of Scientific Revolution (Chicago: University of Chicago Press, 1970). Menurutnya, paradigma adalah satu kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Dalam buku itu Kuhn mejelaskan tentang perubahan paradigma dalam ilmu, dan menurutnya disiplin ilmu lahir sebagai proses revolusi paradigma. Bisa jadi, suatu pandangan teori ditumbangkan oleh pandangan teori yang baru yang mengikutinya.
6 Lihat Mansour Fakih, op. cit., h. 23

7 Paradigma ini dikembangkan oleh Emile Durkheim, seorang sosiolog “integrasi sosial” asal Perancis, melalui dua karyanya, The Rules of Sociological Method (1895) dan Suicide (1897). Durkheim mempertegas bahwa pendekatan sosiologinya berseberangan dengan Herbert Spencer, yang menekankan pada “individualisme”. Spencer lebih tertarik pada perkembangan evolusi jangka panjang dari masyarakat-masyarakat modern, dan baginya, kunci untuk memahami gejala sosial atau gejala alamiah lainnya adalah hukum evolusi yang universal. Ada kemiripan pandangan Spencer dengan August Comte, “Bapak Sosiologi” dan pencetus “positivisme” dalam ilmu-ilmu sosial. Keduanya sama-sama ingin menerapkan teori evolusionisme pada alam dan biologi ke dalam wilayah kajian ilmu-ilmu sosial. Spencer lebih memperhatikan terhadap perubahan struktur sosial dalam masyarakat, dan tidak pada perkembangan intelektual Lihat, Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi, Klasik dan Modern, terj. Robert M. Z. Lawang, (Jakarta: Gramedia, 1986), Jilid 1, hal. 171-2.

8 Menurut Ritzer, teori-teori yang mendukung paradigma fakta sosial ini adalah : Teori Fungsionalisme Struktural, Teori Konflik, Teori Sistem, dan Teori Sosiologi Makro. Teori Fungsionalisme Struktural dicetuskan oleh Robert K. Merton, yang menjadikan obyek analisa sosiologisnya adalah peranan sosial, pola-pola institusional, proses sosial, organisasi kelompok, pengendalian sosial, dan sebagainya. Penganut teori ini cenderung melihat pada sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadap sistem lain, dan secara ekstrim beranggapan bahwa semua peristiwa atau struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Sedangkan Teori Konflik, yang tokoh utamanya adalah Ralp Dahrendorf, sebagai kebalikan dari teori pertama, menitikberatkan pada konsep tentang kekuasaan dan wewenang yang tidak merata pada sistem sosial sehingga bisa menimbulkan konflik. Dan tugas utama dalam menganalisa konflik adalah dengan mengidentifikasi berbagai peranan kekuasaan dalam masyarakat.Lihat George Ritzer, op. cit., hal. 16-26
9 yang dikembangkan oleh Max Weber untuk menganalisa tindakan sosial (social action). Bagi Weber, pokok persoalan sosiologi adalah bagaimana memahami tindakan sosial antar hubungan sosial, dimana “tindakan yang penuh arti” itu ditafsirkan untuk sampai pada penjelasan kausal. Untuk mempelajari tindakan sosial, Weber menganjurkan metode analitiknya melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding) atau menurut terminologinya disebut dengan verstehen. Paradigma ini dimasuki oleh tiga teori, yaitu Teori Aksi (dari Weber sendiri), Teori Fenomenologis yang dikembangkan oleh Alfred Schutz, dan Teori Interaksionalisme Simbolis yang tokoh populernya adalah G. H. Mead
10 Paradigma ini dikembangkan oleh B. F. Skiner dengan meminjam pendekatan behaviorisme dari ilmu psikologi. Ia sangat kecewa dengan dua paradigma sebelumnya karena dinilai tidak ilmiah, dan dianggap bernuansa mistis. Menurutnya, obyek studi yang konkret-realistik itu adalah perilaku manusia yang nampak serta kemungkinan perulangannya (behavioral of man and contingencies of reinforcement). Skinner juga berusaha menghilangkan konsep volunterisme Parson dari dalam ilmu sosial, khususnya sosiologi. Yang tergabung dalam paradigma ini adalah Teori Behavioral Sociology dan Teori Exchange.
11 Herry Priyono, Anthony Giddens; Suatu Pengantar, (Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia; Cet. I, 2002), hal. 8
12 Ibid., hal. 9
13 Ibid., hal. 10
14 Teori ini sangat berbeda dari teori Marx karena ia menganalisis konflik tanpa memperhitungkan politik ekonomi yang ada (apakah kapitalisme atau sosialisme). Jika Marx bersandar pada PEMILIKAN alat produksi, maka Dahrendorf bersandar pada KONTROL atas alat produksi. Dalam terminologi Dahrendorf, pada masa pos-kapitalisme, kepemilikan akan alat produksi (baik sosialis atau kapitalis) tidak menjamin adanya kontrol atas alat produksi. Jadi, di luar Marxisme, ia mengembangkan beberapa terminologi dari Max Weber, antara lain bahwa sistem sosial itu dikoordinasi secara imperatif melalui otoritas/kekuasaan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa teori Dahrendorf melakukan kombinasi antara fungsionalisme (tentang struktur dan fungsi masyarakat) dengan teori (konflik) antar kelas sosial.
15 Lihat George Ritzer & Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Kencana, Cet. IV; 2007), hal. 153
16 Ibid., 154
17 John Pickard, Materalisme Dialektis, diterjemahkan sesuai teks dalam website In Defence of Marxism (http://www.marxist.com), up load., 19 Desember 2007;11:00 AM
18 Lihat George Ritzer & Douglas J. Goodman, op. cit., hal. 169
19 Pada awal 1960-an Jurgen Habermas sangat populer dikalangan mahasiswa jerman dan oleh beberapa kelompok dianggap sebagai ideolog mereka, khususnya Soziliatischer Deutsche Studentenbund (Kelompok Mahasiswa Sosialis Jerman., Baca Ibrahim Ali Fausi, Seri Tokoh Fiilsafat; Jurgen Habermas, (Jakarta: Teraju, Cet. I; 2003), hal. 21
20 Teori sosial “Posmodern” mengacu pada cara berpikir yang berbeda dengan teori sosial modern, lihat George Ritzer & Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, op. cit., hal. 629

0 komentar :

Posting Komentar